Sabtu, 17 Desember 2011

tifus abdominalis

BAB I PENDAHULUAN A. LATARBELAKANG Tifus Abdominalis adalah ( Demam Thypoid, Enteric Fever ) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran ( Ngastiyah 1997 ). Menginggat Tifus abdominalis adalah penyakit yang menular, maka peran perawat dalam peranya sebagai fasilitator, pendidik dan pemberi pelayanan perawat sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan secara optimal dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan secara optimal melalui pemberian asuhan keperawatan dengan memandang anak sebagai individu yang unik yang meliputi aspek biologi, psikologi social dan spiritual. Faktor pendukung yang menyebabkan terjadinya tifus abdominalis yaitu karena pola hidup yang salah yaitu jalan/atau membeli makanan di luar rumah, dan lingkunngan yang kurang bersih. Peran perawat dalam penanggulangan tifus di rumah sakit yaitu peran preventif yaitu dengan cara mencuci tangan dengan sabun serta menjaga kebersihan rumah dan lingkungan keluarga, promotif yaiitu dengan cara memberikan pendidikan kesehatan tipus abdominalis dan menganjurkan klien untuk meningkatkan makanan yang nergizi, kuratif yaitu dengan cara mementau cairan infuse, memonitor intake dan output, rehabilitative yaitu untuk mencegah terjadinya komplikasi. B. TUJUAN PENULISAN 1. Tujuan Umum Agar mahasiswa / i dapat memberikan “ Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Tifus Abdominalis “. 2. Tujuan Khusus a. Agar mahasiswa / i mampu melakukan pengkajian pada klien dengan tifus abdominalis. b. Agar mahasiswa / i mampu menentukan masalah keperawatan pada klien dengan tifus abdominalis. c. Agar mahasiswa / i mampu merencanakan asuhan keperawatan pada klien dengan tifus abdominalis. Tambahkan +++++ C. RUANG LINGKUP Dalam penulisan makalah ini kelompok hanya membahas tentang “ Asuahn Keperawatan pada Klien dengan Tifus Abdominalis “. D. METODE PENULISAN Dalam pembuatan makalah ini, kelompok menggunakan metode kepustakaan dan pengambilan data melalui internet dan beberapa sumber lainnya. E. SISTEMATIKA PENULISAN Dalam penulisan makalah ini sistematika penulisan yang digunakan adalah sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan yang mencakup latarbelakang, tujuan penulisan, ruang lingkup, metode penulisan dan sistematika penulisan. BAB II : Tinjauan teoritis yang mencakup pengertian, patofisiologi, penatalaksanaan dan asuhan keperawatan. BAB III : Penutup yang mencakup kesimpulan dan saran. BAB II TINJAUAN TEORITIS A. PENGERTIAN Tifus Abdomenalis adalah ( Demam Thypoid, Enteric Fever ) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pencernaann dan gangguan kesadaran ( Ngastiyah 1997 ). Tifus abdomenalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan kesadaran ( Suryadi & Rita Yuliani, 2001 ). Tifus Abdominalis adalah suatu penyakit sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh salmonella thypi yang ditandai dengan panas yang berkepanjangan. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tifus abdominalis adalah suatu penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu yang disebabkan oleh salmonella thyposa. B. PATOFISIOLOGI 1. Etiologi ( Ngastiyah, 1997 dan Ilmu Kesehatan Anak, 20002 ) Salmonella thyposa, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora Masa inkubasi +++= PATOFISIOLOGI Salmonella Typhosa Saluran Pencernaan Sebagian dihancurkan dilambung diserap oleh usus halus Bakteri memasuki aliran darah sistemik Kelenjar Limfoid usus halus Hati Limpa Endotoksin Mual + Muntah Tukak Hepatomegali splenomegali merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen Gangguan kebutuhan nutrisis Pendarahan dan perforasi usus nyeri peradaban(cek ) Demam Peritonitis Gangguan rasa nyaman nyeri - Peningkatan suhu tubuh - Peningkatan volume cairan 2.Proses a. Kuman masuk melalui mulut, sebagian dimusnahkan di dalam lambung oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk keusus halus, kejaringan limfoit. Dan berkembangbiak menyerang vili usus halus, kemudian kuman masuk ke peredaran darah ( bakterinia primer ) dan mencapai sel – sel retikuloendoteleal, hati, limpa dan organ – organ lainnya. b. Proses ini terjadi dalam masa tunas dan akan berakhir saat sel - sel retikuloendoteleal melepaskan kuman kedalam peredaran darah dan menimbulkan bakterinia untuk kedua kakinya. Selanjutnya kuman masuk ke beberapa jaringan organ tubuh, terutama limpa usus dan kandung kemih empedu. c. Pada minggu pertama sakit terjadi hyperplasia plaks players. Ini terjadi pada kelenjar limfoid usus halus. Minggu kedua menjadi nekrosis dan minggu ketiga terjadi ulserasi plaks players. Pada minggu keempat terjadi penyembuhan ulkus yang dapat menimbulkan sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan pendarahan, bahkan sampai berporasi usus, selain itu kelenjar – kelenjar mesentrial dan limfa membesar. d. Gejala demam disebabkan oleh endotoksin sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan usus halus ( Asuhan Keperawatan pada Anak, Suryadi dan Rita Yuliani , 2001 ) a. faktor predisposisi dan prespitasi. b. Faktor predisposisi : daya tahan tubuh yang menurun. Faktor prespitasi : mengonsumsi makanan yang tercemar kuman salmonella thyposa 2. Manisfestasi klinis a. Nyeri kepala, lemas, lesu. b. Demam yang tidak terlalu tinggi dan berangsur selama 3 minggu :  Minggu pertama peningkatan suhu tubuh berfluktuasi.  Suhu tubuh meningkat pada malam hari dan menurun pada pagi hari.  Pada minggu kedua suhu tubuh terus meningkat dan pada minggu ketiga.  Suhu tubuh berangsur – angsur turun dan kembali normal. c. Gangguan pada saluran cerna : mual muntah, tidak nafsu makan, hepatomegali, splenomegali dan disertai nyeri pada perabaan. d. Gangguan kesadaran, penurunan kesadaran. e. Epitaksis ( mimisan ) 3. Komplikasi a. Pada usus halus yaitu perdarahan usus, perforasi usus, peritonitis. b. Diluar usus halus terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis ( bakterimia ), yaitu meningitis, ensefalopati terjadi karena infeksi sekunder dari bronkopneumonia. C. PENATALAKSANAAN 1. Test diagnostic a. Pemeriksaan darah tepi : terdapat gambaran leucopenia, limfositosis relative dan anoesinofilia pada permulaan sakit. Maka terdapat anemia dan trombositopenia ringan. b. Pemeriksaan sum – sum tulang : menunjukan gambaran hiperaktif sum – sum tulang. c. Biakan empedu : terdapat basil salmonella thyposa pada urin dan tinja. d. Pemeriksaan widal di dapatkan titer terhadap antigen O adalah 1/200 ataau lebih, sedangkan titer terhadap antigen H walaupun tinggi akan tetapi tidak bermakna untuk menegakan diagnosis karena titer H dapat tetap tinggi setelah dilakukan imunisasi atau bila penderita telah sembuh. 2. Tindakan medis bertujuan untuk pengobatan a. Isolasi pasien, desinfeksi pakaian dan ekskreta. b. Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi, mengingat sakit yang lama, lemah, anoreksia. c. Istirahat selama dua minggu setelah suhu normal kembali ( istirahat total ), kemudian boleh duduk, jika tidak panas lagi boleh berdiri kemudian berjalan diruanagan. d. Diet makanan harus mengandung cukup cairan, tinggi kalori dan tinggi protein. Bahan makanan tidak boleh banyak mengandung serat tidak merangsang dan tidak menimbulkan gas. e. Pemberian kloramfenikol dengan dosis tinggi, yaitu 100 mg/ kg/ BB/ hari ( maksimal 2 gram/ hari ), diberikan 4 kali sehari peroral atau intervena. D. ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian a. Faktor predisposisi : daya tahan tubuh menurun. b. Faktor prespitasi : mengonsumsi makanan yang tercemar kuman salmonella thyposa. c. Awal serangan : demam, gelisah, suhu tubuh meningkat, anoreksia, muntah kemudian tibul penyakit tifus abdominalis atau thypoid d. Keluhan utama :panas naik turun selama 2 hari, muntah, mual, anoreksia dan menyebabkan penurunan BB klien. e. Pola istirahat tidur : akan terganggu karena adanya distensi abdomen yang akan menimbulkan rasa tidak nyaman. f. Pola eliminasi : diare, konstipasi, perut kembung dan nyeri pada perabaan abdomen. g. Pola nutrisi : diawali dengan mual, muntah, anoreksia dan menyebabkan penurunan BB klien. h. Aktivitas : akan terganggu karena kondisi tubuh yang lemah dan adanya rasa nyeri akibat distensi abdomen. i. Periksaan fisiologi : keadaan umum tampak lemah, kesadaran komposmentis sampai koma, suhu tubuh meningkat, nadi cepat, lemah dan pernapasan agak cepat. j. Pemeriksaan sistemik  Infeksi : mata tidak cekung, mukosa bibir lembab, BB menurun, anus tudak mengalami kemerahan.  Perkusi : adanya distensi abdomen.  Palpasi : turgor kulit elastic  Auskultasi : terdengar bising usus. 2. Diagnose Keperawatan a. Hipertermi b.d proses infeksi bakteri kiman salmonella thyposa. b. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi : kurang dari kebutuhna tubuh b.d intake yang tidak adekuat. c. Resiko deficit cairan b.d peningkatan suhu tubuh 3. Rencana Keperawatan a. Dx I : Hipertermi b.d proses infeksi bakteri kiman salmonella thyposa.  Tujuan : peningkatan suhu tubuh menurun  KH :  tanda – tanda vital ( TTV ) dalam batas normal ( TD : 110/70 – 120/80 mmHg, S : 36 – 37o C, N : 90 – 110 x/ menit ), badan tidak panas, tidak mengigil, laboratorium dalam batas normal ( Hb : 12 – 14 gr/dl, Ht : 40 – 50 %, Leukosit : 5000 – 10000/ m3, antigen O : negative ( - ).  Tindakan / intervensi  Observasi TTV 4 jam sekali / sesuai indikasi.  Pantau suhu tubuh klien ( derajat dan pola ) perhatikan menggigil atau diaphoresis.  Berikan kompres hangat.  Anjurkan keluarga untuk memberiakan pakaian tipis.  Kolaborasi  Beriakan cairan parental ( IV ) yang adekuat.  Berikan antibiotic dan antipiretik, misalnya : Asa ( Aspirin dan Parasetamol )  Rasional  Hipotensi, takikardia, demam dapat menurunkan respon terhadap kehilangan cairan.  Suhu tubuh 38,9 – 41 oC menunjukan proses infeksius akut.  Dapat membantu mengurangi demam. b. Dx II : Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi : kurang dari kebutuhna tubuh b.d intake yang tidak adekuat.  Tujuan : kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.  KH :  Peningkatan BB dalam batas normal sesuai dengan BB ideal.  Klien tidak mual, muntah.  Nafsu makan meningkat.  Turgor kulit elastic.  Konjungtiva tidak anemis.  Kebutuhan kalori sesuai BB ( Rumus : 1130 kalori/ ka BB/ hari ).  Tindakan / intervensi  Nilai status nutrisi dari sebelum sakit dan BB klien sekarang.  Kaji keluhan rasa mual klien.  Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi.  Anjurkan untuk memberikan makanan dengan teknik porsi kecil tapi sering.  Timbang BB setiap hari.  Jelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk penyembuhan penyakit.  Kolaborasi  Berikan obat antimuntah, jika klien muntah.  Berikan nutrisi parental total, terapi IV misalnya : Asa ( aspirin dan Parasetamol )  Rasional  Mengkaji toleransi pemberian makanan.  Mengetahui tingkat nafsu makan klien serta menentukan tindakan adekuat.  Mengurangi kehebatan dan durasi penyakit.  Meningkatkan kepatuhan terhadap program terapeutik.  Memberikan informasi tentang kepatuhan diet.  Meningkatkan kepatuhan terhadap terapeutik  Mencegah serangan akut.
 Mengistirahatkan saluran gastrointestinal sementara memberikan nutrisi penting. c. Dx III : Resiko deficit cairan b.d peningkatan suhu tubuh.  Tujuan : resiko deficit cairan tidak terjadi  KH :  Klien tidak lemas, intake dan output seimbang.  TTV dalam batas normal ( TD : 110/70 – 120/80 mmHg, S : 36 – 37o C, N : 90 – 110 x/ menit ).  Tanda – tanda dehidrasi tidak terjadi, misalnya mulut lembab, turgor kulit elastic, pengisian kapiler normal.  Tindakan / intervensi  Monitor pemasukan dan pengeluaran karakter dan feses, perkiraan kehilangan yang terlihat, misalnya : berkeringat dan urine.  Kaji TTV.  Kaji tanda – tanda dehidrasi.  Ukur BB tiap hari.  Rasional  Untuk memberikan informasi tentang keseimbangan cairan, fungsi ginjal dan control penyakit usus juga merupakan pedoman untuk penyakit cairan.  Hipotensi ( termasuk postural ) takikardia, demam dapat menunjukan kehilangan cairan.  Menunjukan kehilangan cairan yang berlebihan ( dehidrasi ).  Indicator dan status nutrisi.
DAFTAR PUSTAKA Brunner and suddaart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah.Jakarta : EGC. Carpenito,Juall Lynda R. N, M. S. N. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinik. Jakarta : EGC. Wong. D. L. 2000. Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.

askep decubitus

Askep Integumen Disorder Definisi Decubitus Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat. Dekubitus atau luka tekan adalah kerusakan jaringan yang terlokalisir yang disebabkan karena adanya kompressi jaringan yang lunak diatas tulang yang menonjol (bony prominence) dan adanya tekanan dari luar dalam jangka waktu yang lama. Kompressi jaringan akan menyebabkan gangguan pada suplai darah pada daerah yang tertekan. Apabila ini berlangsung lama, hal ini dapat menyebabkan insufisiensi aliran darah, anoksia atau iskemi jaringan dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian sel Informasi: Luka tekan (pressure ulcer) atau dekubitus merupakan masalah serius yang sering tejadi pada pasien yang mengalami gangguan mobilitas, seperti pasien stroke, injuri tulang belakang atau penyakit degeneratif. Istilah dekubitus sebenarnya kurang tepat dipakai untuk menggambarkan luka tekan karena asal kata dekubitus adalah decumbere yang artinya berbaring. Ini diartikan bahwa luka tekan hanya berkembang pada pasien yang dalam keadaan berbaring. Padahal sebenarnya luka tekan tidak hanya berkembang pada pasien yang berbaring, tapi juga dapat terjadi pada pasien yang menggunakan kursi roda atau prostesi. Oleh karena itu istilah dekubitus sekarang ini jarang digunakan di literatur literatur untuk menggambarkan istilah luka tekan. Etiology • Faktor intrinsik: penuaan (regenerasi sel lemah), Sejumlah penyakit yang menimbulkan seperti DM, Status gizi, underweight atau kebalikannya overweight, Anemia, Hipoalbuminemia, Penyakit-penyakit neurologik dan penyakit-penyakit yang merusak pembuluh darah, Keadaan hidrasi/cairan tubuh. • Faktor Ekstrinsik:Kebersihan tempat tidur, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau peralatan medik yang menyebabkan penderita terfiksasi pada suatu sikap tertentu, Duduk yang buruk, Posisi yang tidak tepat, Perubahan posisi yang kurang. Tanda dan Gejala, stadium dan komplikasi 1. Stadium Satu 1. Adanya perubahan dari kulit yang dapat diobservasi. Apabila dibandingkan dengan kulit yang normal, maka akan tampak salah satu tanda sebagai berikut: perubahan temperatur kulit (lebih dingin atau lebih hangat) 2. Perubahan konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak) 3. Perubahan sensasi (gatal atau nyeri) 4. Pada orang yang berkulit putih, luka mungkin kelihatan sebagai kemerahan yang menetap. Sedangkan pada yang berkulit gelap, luka akan kelihatan sebagai warna merah yang menetap, biru atau ungu. 2. Stadium Dua Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau keduanya. Cirinya adalah lukanya superficial, abrasi, melempuh, atau membentuk lubang yang dangkal. 3. Stadium Tiga Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis dari jaringn subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fascia. Luka terlihat seperti lubang yang dalam 4. Stadium Empat Hilangnya lapisan kulit secara lengkap dengan kerusakan yang luas, nekrosis jaringan, kerusakan pada otot, tulang atau tendon. Adanya lubang yang dalam serta saluran sinus juga termasuk dalam stadium IV dari luka tekan. Faktor resiko 1. Mobilitas dan aktivitas 2. Penurunan sensori persepsi 3. Kelembapan 4. Tenaga yang merobek (shear) 5. Pergesekan ( friction) 6. Nutrisi 7. Usia 8. Tekanan arteriolar yang rendah 9. Stress emosional 10. Merokok 11. Temperatur kulit Patofisiologi immobil/terpancang pada tempat tidurnya secara pasif dan berbaring (lebih dari 2 jam),tekanan daerah sakrum akan mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg (normal: tekanan daerah pada kapiler berkisar antara 16 mmHg-33 mmHg),iskemik,nokrosis jaringan kulit • selain faktor tegangan, ada faktor lain yaitu: Faktor teregangnya kulit misalnya gerakan meluncur ke bawah pada penderita dengan posisi dengan setengah berbaring • Faktor terlipatnya kulit akiab gesekan badan yang sangat kurus dengan alas tempat tidur, sehingga seakan-akan kulit “tertinggal” dari area tubuh lainnya. Pencegahan dan Intervensi awal pasien ulkus dekubitus: a. Kaji resiko individu terhadap kejadian luka tekan b. Pengkajian resiko luka tekan seharusnya dilakukan pada saat pasien memasuki RS dan diulang dengan pola yang teratur atau ketika ada perubahan yang signifikan pada pasien, seperti pembedahan atau penurunan status kesehatan (Beberapa instrumen pengkajian resiko dapat digunakan untuk mengetahui skor resiko. c. Identifikasi kelompok kelompok yang beresiko tinggi terhadap kejadian luka tekan. Orangtua dengan usia lebih dari 60 tahun, bayi dan neonatal, pasien injuri tulang belakang adalah kelompok yang mempunyai resiko tinggi terhadap kejadian luka tekan d. Kaji keadaan kulit secara teratur (Pengkajian kulit setidaknya sehari sekali, Kaji semua daerah diatas tulang yang menonjol setidaknya sehari sekali, Kulit yang kemerahan dan daerah diatas tulang yang menonjol seharusnya tidak dipijat karena pijatan yang keras dapat mengganggu perfusi ke jaringan) e. Kaji status mobilitas f. Minimalkan terjadinya tekanan g. Kaji dan minimalkan terhadap pergesekan (friction)dan tenaga yang merobek (shear). h. Kajilah inkontinensia i. Kaji status nutrisi j. Kaji dan monitor luka tekan pada setiap penggantian balutan luka k. Kajilah faktor yang menunda status penyembuhan l. Evaluasi penyembuhan luka m. Kajilah komplikasi yang potensial terjadi karena luka tekan seperti abses, osteomielitis, bakteremia, fistula n. Berilah pasien edukasi berupa penyebab dan faktor resiko untuk luka tekan dan cara cara untuk meminimalkan luka tekan Klasifikasi dan stadium ulkus dekubitus Klasifikasi atau tipe: Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari suatu ulkus dekubitus dan perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit sekitarnya, dekubitus dapat dibagi menjadi tiga: 1. Tipe normal Mempunyai beda temperatur sampai dibawah lebih kurang 2,5oC dibandingkan kulit sekitarnya dan akan sembuh dalam perawatan sekitar 6 minggu. Ulkus ini terjadi karena iskemia jaringan setempat akibat tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluh-pembuluh darah sebenarnya baik. 2. Tipe arterioskelerosis Mempunyai beda temperatur kurang dari 1oC antara daerah ulkus dengan kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran darah akibat penyakit pada pembuluh darah (arterisklerotik) ikut perperan untuk terjadinya dekubitus disamping faktor tekanan. Dengan perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu. 3. Tipe terminal Terjadi pada penderita yang akan meninggal dunia dan tidak akan sembuh. Stadium: 1. Dekubitus derajat I Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis 2. Dekubitus derajat II Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal 3. Dekubitus derajat III Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus otot dan sering sudah ada infeksi 4. Dekubitus derajat IV Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering pula diserta jaringan nekrotik; Proses penyembuhan luka Prinsip-prinsip Perawatan Luka : Ada dua prinsip utama dalam perawatan luka. Prinsip pertama menyangkut pembersihan/pencucian luka. Luka kering (tidak mengeluarkan cairan) dibersihkan dengan teknik swabbing, yaitu ditekan dan digosok pelan-pelan menggunakan kasa steril atau kain bersih yang dibasahi dengan air steril atau NaCl 0,9 %. Sedang luka basah dan mudah berdarah dibersihkan dengan teknik irrigasi, yaitu disemprot lembut dengan air steril (kalau tidak ada bisa diganti air matang) atau NaCl 0,9 %. Jika memungkinkan bisa direndam selama 10 menit dalam larutan kalium permanganat (PK) 1:10.000 (1 gram bubuk PK dilarutkan dalam 10 liter air), atau dikompres larutan kalium permanganat 1:10.000 atau rivanol 1:1000 menggunakan kain kasa. Cairan antiseptik sebaiknya tidak digunakan, kecuali jika terdapat infeksi, karena dapat merusak fibriblast yang sangat penting dalam proses penyembuhan luka, menimbulkan alergi, bahkan menimbulkan luka di kulit sekitarnya. Jika dibutuhkan antiseptik, yang cukup aman adalah feracrylum 1% karena tidak menimbulkan bekas warna, bau, dan tidak menimbulkan reaksi alergi. Konsep Asuhan Keperawatan Pengkajian (Assessment) Identitas pasien dan keluarga, pola sensori, pemeriksaan fisik (status kesehatan umum, pemeriksaan head to toe, pemeriksaan penunjang), pemeriksaan tanda-tanda fital dan riwayat penggunaan obat-obatan Diagnosa (masalah keperawatan) Imobilitas b/d dekubitus (luka tekan) Resiko infeksi b/d incontinensia Aktual infeksi, sepsis b/d adanya infeksi (dekubitus) Gangguan perfusi jaringan Interfensi dan Implementasi (Perencanaan Tindakan Keperawatan) Dapat dilaksanakan penuh pada masing-masing diagnosa keperawatan. Meliputi: monitor tanda-tanda vital, monitor input-output, monitor kesadaran, monitor hipoglikemi, obserfasi tanda infeksi, lakukan teknik aseptik perawatan kulit, jelaskan tentang penyebab, komplikasi dan pengobatan atau terapi decubitus. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi obat-obatan. Evaluasi Keefektifan tindakan, peran anggota keluarga untuk membantu mobilisasi pasien, kepatuhan pengobatan dan mengefaluasi masalah baru yang kemungkinan muncul. Entri ini dituliskan pada Juli 5, 2009 pada 3:08 am dan disimpan dalam Materi Kuliah. Anda bisa mengikuti setiap tanggapan atas artikel ini melalui RSS 2.0 pengumpan. Anda bisa tinggalkan tanggapan, atau lacak tautan dari situsmu sendiri.
A. DEFINISI Glaukoma adalah suatu penyakit yang memberikan gambaran klinik berupa peninggian tekanan bola mata, penggaungan papil saraf optik dengan defek lapang pandangan mata.(Sidarta Ilyas,2000). Galukoma adalah sekelompok kelainan mata yang ditandai dengan peningkatan tekanan intraokuler.( Long Barbara, 1996) B. ETIOLOGI Penyakit yang ditandai dengan peninggian tekanan intraokuler ini disebabkan oleh : • Bertambahnya produksi cairan mata oleh badan ciliary • Berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata atau di celah pupil C. KLASIFIKASI 1. Glaukoma primer - Glaukoma sudut terbuka Merupakan sebagian besar dari glaukoma ( 90-95% ) , yang meliputi kedua mata. Timbulnya kejadian dan kelainan berkembang secara lambat. Disebut sudut terbuka karena humor aqueousmempunyai pintu terbuka ke jaringan trabekular. Pengaliran dihambat oleh perubahan degeneratif jaringan rabekular, saluran schleem, dan saluran yg berdekatan. Perubahan saraf optik juga dapat terjadi. Gejala awal biasanya tidak ada, kelainan diagnose dengan peningkatan TIO dan sudut ruang anterior normal. Peningkatan tekanan dapat dihubungkan dengan nyeri mata yang timbul. - Glaukoma sudut tertutup(sudut sempit) Disebut sudut tertutup karena ruang anterior secara anatomis menyempit sehingga iris terdorong ke depan, menempel ke jaringan trabekular dan menghambat humor aqueous mengalir ke saluran schlemm. Pergerakan iris ke depan dapat karena peningkatan tekanan vitreus, penambahan cairan di ruang posterior atau lensa yang mengeras karena usia tua. Gejala yang timbul dari penutupan yang tiba- tiba dan meningkatnya TIO, dapat berupa nyeri mata yang berat, penglihatan yang kabur dan terlihat hal. Penempelan iris menyebabkan dilatasi pupil, bila tidak segera ditangani akan terjadi kebutaan dan nyeri yang hebat. 2. Glaukoma sekunder Dapat terjadi dari peradangan mata , perubahan pembuluh darah dan trauma . Dapat mirip dengan sudut terbuka atau tertutup tergantung pada penyebab. - Perubahan lensa - Kelainan uvea - Trauma - bedah 3. Glaukoma kongenital - Primer atau infantil - Menyertai kelainan kongenital lainnya 4. Glaukoma absolut Merupakan stadium akhir glaukoma ( sempit/ terbuka) dimana sudah terjadi kebutaan total akibat tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi lanjut .Pada glaukoma absolut kornea terlihat keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan eksvasi glaukomatosa, mata keras seperti batu dan dengan rasa sakit.sering mata dengan buta ini mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah sehingga menimbulkan penyulit berupa neovaskulisasi pada iris, keadaan ini memberikan rasa sakit sekali akibat timbulnya glaukoma hemoragik. Pengobatan glaukoma absolut dapat dengan memberikan sinar beta pada badan siliar, alkohol retrobulber atau melakukan pengangkatan bola mata karena mata telah tidak berfungsi dan memberikan rasa sakit. Berdasarkan lamanya : 1. GLAUKOMA AKUT a. Definisi Glaukoma akut adalah penyakit mata yang disebabkan oleh tekanan intraokuler yang meningkat mendadak sangat tinggi. b. Etiologi Dapat terjadi primer, yaitu timbul pada mata yang memiliki bakat bawaan berupa sudut bilik mata depan yang sempit pada kedua mata, atau secara sekunder sebagai akibat penyakit mata lain. Yang paling banyak dijumpai adalah bentuk primer, menyerang pasien usia 40 tahun atau lebih. c. Faktor Predisposisi Pada bentuk primer, faktor predisposisinya berupa pemakaian obat-obatan midriatik, berdiam lama di tempat gelap, dan gangguan emosional. Bentuk sekunder sering disebabkan hifema, luksasi/subluksasi lensa, katarak intumesen atau katarak hipermatur, uveitis dengan suklusio/oklusio pupil dan iris bombe, atau pasca pembedahan intraokuler. d. Manifestasi klinik 1). Mata terasa sangat sakit. Rasa sakit ini mengenai sekitar mata dan daerah belakang kepala . 2). Akibat rasa sakit yang berat terdapat gejala gastrointestinal berupa mual dan muntah , kadang-kadang dapat mengaburkan gejala glaukoma akut. 3). Tajam penglihatan sangat menurun. 4). Terdapat halo atau pelangi di sekitar lampu yang dilihat. 5). Konjungtiva bulbi kemotik atau edema dengan injeksi siliar. 6). Edema kornea berat sehingga kornea terlihat keruh. 7). Bilik mata depan sangat dangkal dengan efek tyndal yang positif, akibat timbulnya reaksi radang uvea. 8). Pupil lebar dengan reaksi terhadap sinar yang lambat. 9). Pemeriksaan funduskopi sukar dilakukan karena terdapat kekeruhan media penglihatan. 10). Tekanan bola mata sangat tinggi. 11). Tekanan bola mata antara dua serangan dapat sangat normal. e. Pemeriksaan Penunjang Pengukuran dengan tonometri Schiotz menunjukkan peningkatan tekanan. Perimetri, Gonioskopi, dan Tonografi dilakukan setelah edema kornea menghilang. f. Penatalaksanaan Penderita dirawat dan dipersiapkan untuk operasi. Dievaluasi tekanan intraokuler (TIO) dan keadaan mata. Bila TIO tetap tidak turun, lakukan operasi segera. Sebelumnya berikan infus manitol 20% 300-500 ml, 60 tetes/menit. Jenis operasi, iridektomi atau filtrasi, ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaab gonoskopi setelah pengobatan medikamentosa. 2. GLAUKOMA KRONIK a. Definisi Glaukoma kronik adalah penyakit mata dengan gejala peningkatan tekanan bola mata sehingga terjadi kerusakan anatomi dan fungsi mata yang permanen. b. Etiologi Keturunan dalam keluarga, diabetes melitus, arteriosklerosis, pemakaian kortikosteroid jangka panjang, miopia tinggi dan progresif. c. Manifestasi klinik Gejala-gejala terjadi akibat peningkatan tekanan bola mata. Penyakit berkembang secara lambat namun pasti. Penampilan bola mata seperti normal dan sebagian tidak mempunyai keluhan pada stadium dini. Pada stadium lanjut keluhannya berupa pasien sering menabrak karena pandangan gelap, lebih kabur, lapang pandang sempit, hingga kebutaan permanen. d. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan tekanan bola mata dengan palpasi dan tonometri menunjukkan peningkatan. Nilai dianggap abnormal 21-25 mmHg dan dianggap patologik diatas 25 mmHg. Pada funduskopi ditemukan cekungan papil menjadi lebih lebar dan dalam, dinding cekungan bergaung, warna memucat, dan terdapat perdarahan papil. Pemeriksaan lapang pandang menunjukkan lapang pandang menyempit, depresi bagian nasal, tangga Ronne, atau skotoma busur. e. Penatalaksanaan Pasien diminta datang teratur 6 bulan sekali, dinilai tekanan bola mata dan lapang pandang. Bila lapang pandang semakin memburuk,meskipun hasil pengukuran tekanan bola mata dalam batas normal, terapi ditingkatkan. Dianjurkan berolahraga dan minum harus sedikit-sedikit. D. PATHWAY GLAUKOMA Usia > 40 th DM Kortikosteroid jangka panjang Miopia Trauma mata Obstruksi jaringan peningkatan tekanan Trabekuler Vitreus Hambatan pengaliran pergerakan iris kedepan Cairan humor aqueous TIO meningkat Glaukoma TIO Meningkat Gangguan saraf optik tindakan operasi Perubahan penglihatan Perifer Kebutaan E. ASUHAN KEPERAWATAN 1). Pengkajian a) Aktivitas / Istirahat : Perubahan aktivitas biasanya / hobi sehubungan dengan gangguan penglihatan. b) Makanan / Cairan : Mual, muntah (glaukoma akut) c) Neurosensori : Gangguan penglihatan (kabur/tidak jelas), sinar terang menyebabkan silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat/merasa di ruang gelap (katarak). Penglihatan berawan/kabur, tampak lingkaran cahaya/pelangi sekitar sinar, kehilangan penglihatan perifer, fotofobia(glaukoma akut). Perubahan kacamata/pengobatan tidak memperbaiki penglihatan. Tanda : Papil menyempit dan merah/mata keras dengan kornea berawan. Peningkatan air mata. d) Nyeri / Kenyamanan : Ketidaknyamanan ringan/mata berair (glaukoma kronis) Nyeri tiba-tiba/berat menetap atau tekanan pada dan sekitar mata, sakit kepala (glaukoma akut). e) Penyuluhan / Pembelajaran Riwayat keluarga glaukoma, DM, gangguan sistem vaskuler. Riwayat stres, alergi, gangguan vasomotor (contoh: peningkatan tekanan vena), ketidakseimbangan endokrin. Terpajan pada radiasi, steroid/toksisitas fenotiazin. 2). Pemeriksaan Diagnostik (1) Kartu mata Snellen/mesin Telebinokular (tes ketajaman penglihatan dan sentral penglihatan) : Mungkin terganggu dengan kerusakan kornea, lensa, aquous atau vitreus humor, kesalahan refraksi, atau penyakit syaraf atau penglihatan ke retina atau jalan optik. (2) Lapang penglihatan : Penurunan mungkin disebabkan CSV, massa tumor pada hipofisis/otak, karotis atau patologis arteri serebral atau glaukoma. (3) Pengukuran tonografi : Mengkaji intraokuler (TIO) (normal 12-25 mmHg) (4) Pengukuran gonioskopi : Membantu membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup glaukoma. (5) Tes Provokatif : Digunakan dalam menentukan tipe glaukoma jika TIO normal atau hanya meningkat ringan. (6) Pemeriksaan oftalmoskopi : Mengkaji struktur internal okuler, mencatat atrofi lempeng optik, papiledema, perdarahan retina, dan mikroaneurisma. (7) Darah lengkap, LED : Menunjukkan anemia sistemik/infeksi. (8) EKG, kolesterol serum, dan pemeriksaan lipid : Memastikan aterosklerosisi,PAK. (9) Tes Toleransi Glukosa :menentukan adanya DM. F. Diagnosa Keperawatan Dan Intervensi a. Nyeri b/d peningkatan tekanan intra okuler (TIO) yang ditandai dengan mual dan muntah. Tujuan : Nyeri hilang atau berkurang Kriteria hasil : - pasien mendemonstrasikan pengetahuan akan penilaian pengontrolan nyeri - pasien mengatakan nyeri berkurang/hilang - ekspresi wajah rileks Intervensi : - kaji tipe intensitas dan lokasi nyeri - kaji tingkatan skala nyeri untuk menentukan dosis analgesik - anjurkan istirahat ditempat tidur dalam ruangan yang tenang - atur sikap fowler 300 atau dalam posisi nyaman. - Hindari mual, muntah karena ini akan meningkatkan TIO - Alihkan perhatian pada hal-hal yang menyenangkan - Berikan analgesik sesuai anjuran b. Gangguan persepsi sensori : penglihatan b.d gangguan penerimaan;gangguan status organ ditandai dengan kehilangan lapang pandang progresif. Tujuan : Penggunaan penglihatan yang optimal Kriteria Hasil: - Pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan - Pasien akan mempertahankan lapang ketajaman penglihatan tanpa kehilangan lebih lanjut. Intervensi : - Pastikan derajat/tipe kehilangan penglihatan - Dorong mengekspresikan perasaan tentang kehilangan / kemungkinan kehilangan penglihatan - Tunjukkan pemberian tetes mata, contoh menghitung tetesan, menikuti jadwal, tidak salah dosis - Lakukan tindakan untuk membantu pasien menanganiketerbatasan penglihatan, contoh, kurangi kekacauan,atur perabot, ingatkan memutar kepala ke subjek yang terlihat; perbaiki sinar suram dan masalah penglihatan malam. - Kolaborasi obat sesuai dengan indikasi c. Ansitas b. d faktor fisilogis, perubahan status kesehatan, adanya nyeri, kemungkinan/kenyataan kehilangan penglihatan ditandai dengan ketakutan, ragu-ragu, menyatakan masalah tentang perubahan kejadian hidup. Tujuan : Cemas hilang atau berkurang Kriteria Hasil: - Pasien tampak rileks dan melaporkan ansitas menurun sampai tingkat dapat diatasi. - Pasien menunjukkan ketrampilan pemecahan masalah - Pasien menggunakan sumber secara efektif Intervensi : - Kaji tingkat ansitas, derajat pengalaman nyeri/timbul nya gejala tiba-tiba dan pengetahuan kondisi saat ini. - Berikan informasi yang akurat dan jujur. Diskusikan kemungkinan bahwa pengawasan dan pengobatan mencegah kehilangan penglihatan tambahan. - Dorong pasien untuk mengakui masalah dan mengekspresikan perasaan. - Identifikasi sumber/orang yang menolong. d. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan b.d kurang terpajan/tak mengenal sumber, kurang mengingat, salah interpretasi, ditandai dengan ;pertanyaan, pernyataan salah persepsi, tak akurat mengikuti instruksi, terjadi komplikasi yang dapat dicegah. Tujuan : Klien mengetahui tentang kondisi,prognosis dan pengobatannya. Kriteria Hasil: - pasien menyatakan pemahaman kondisi, prognosis, dan pengobatan. - Mengidentifikasi hubungan antar gejala/tanda dengan proses penyakit - Melakukan prosedur dengan benar dan menjelaskan alasan tindakan. Intervensi : - Diskusikan perlunya menggunakan identifikasi, - Tunjukkan tehnik yang benar pemberian tetes mata. - Izinkan pasien mengulang tindakan. - Kaji pentingnya mempertahankan jadwal obat, contoh tetes mata. Diskusikan obat yang harus dihindari, contoh midriatik, kelebihan pemakaian steroid topikal. - Identifikasi efek samping/reaksi merugikan dari pengobatan (penurunan nafsu makan, mual/muntah, kelemahan, jantung tak teratur dll. - Dorong pasien membuat perubahan yang perlu untuk pola hidup - Dorong menghindari aktivitas,seperti mengangkat berat/men dorong, menggunakan baju ketat dan sempit. - Diskusikan pertimbangan diet, cairan adekuat dan makanan berserat. - Tekankan pemeriksaan rutin. - Anjurkan anggota keluarga memeriksa secara teratur tanda glaukoma. DAFTAR PUSTAKA 1. Junadi P. dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, FK-UI, 1982 2. Sidarta Ilyas, Ilmu Penyakit Mata, FKUI, 2000. 3. Long C Barbara. Medical surgical Nursing. 1992

askep hidrosefalus

KATA PENGANTAR Puji syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta atas rahmat dan ridho-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah KMB II “Anak” yang berjudul “HIDROSEFALUS” Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaiakan makalah ini kepada : 1. Ibu Yeni iswari.SKep selaku dosen pembimbing mata ajar KMB II “Anak” 2. Teman – teman mahasiswa/i yang telah ikut membantu dalam penyusunan makalah ini. 3. Orang tua kami yang telah memberikan doa serta dukungan yang sangat berarti Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kami sangat mengharapkan segala masukan dari para pembaca yang bersifat membangun, sehingga makalah ini dapat menjadi lebih sempurna dan dapat bermanfaat bagi semua pembaca. Jakarta, 21 Maret 2009
A. Latar Belakang Sebelum dibahas lebih jauh mengenai Hidrosepalus maka lebih dulu harus difahami apa yang dimaksud dengan hidosepalus. Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel. Pelebaran ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan serebrospinal. B. Ruang Lingkup Dalam penulisan makalah ini penulis hanya menbahas tentang perkembangan penyakit HIDROSEFALUS, definisi, etiologi,patofisiologi, manifestasi klinik, komplikasi, penatalaksanaan medis sampai pada asuhan keperawatan. C. Tujuan 1. Tujuan Utama Agar mahasiswa/i dapat memenuhi tugas seminar mata ajar KMB II tentang anak dengan kasus hirosefalus dan agar mahasiswa/i dapat mengetahui dan memahami tentang hidrosefalus 2. Tujuan Khusus a. Agar mahasiswa/i dapat mengetahui tetang kelainan pada anak dengan kasus hidrosefalus . b. Agar mahasiswa/i dapat mengetahui definisi dan penyebab hidrosepalus c. Agar mahasiswa/i dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien penyakit hidrosefalus D. Metode Penulisan Dalam pembuatan makalah ini kami mengggunakan metode penulisan study kepustakaan dan pengambilan data melalui internet dan beberapa sumber yang lain. E. Sistematika penulisan Adapun sistematika dalam penyusunan makalah ini akan kami uraikan secara garis besar ke dalam bab, antara lain: Bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan (umum dan khusus). Ruang lingkup, metode penulisan dan sistematika penulisan. Bab II adalah tinjauan teoritis yang terdiri dari konsep dasar yang berisi anatomi fisiologi, pengertian, etioogi, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan medis. Poin B: pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan. Bab II adalah tinjauan kasus yang terdiri dari, pengkajian keperawatan, data fokus, analisa data, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi, evaluasi. Bab IV adalah pembahasan yang terdiri dari, pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi. Bab V adalah penutup yang terdiri dari, kesimpulan dan saran. BAB II TINJAUAN TEORITIS I. Konsep Dasar 1. Anatomi Fisiologi Secara anatomi, di dalam ruang tengkorak, selain terdapat jaringan otak, juga terdapat struktur pembuluh darah dan cairan otak. Cairan otak terletak di dalam ruang khusus yang disebut sebagai ventrikel dan diproduksi oleh sel-sel dalam ventrikel yang dikenal sebagai pleksus khoroideus. Jumlah produksi cairan tersebut pada manusia adalah 0,35 mililiter (ml) setiap menit atau 500 ml sehari. Cairan itu secara teratur diproduksi dan mengalir dari ventrikel satu ke yang lain, ke luar di sekitar otak, rongga sumsum tulang belakang kemudian di serap ke pembuluh darah balik. Sirkulasi, produksi, dan penyerapan cairan otak pertama kali diteliti oleh Cotugno pada tahun 1764. Kedua, cairan otak sebagai buoyancy yang membuat otak terapung sehingga dapat mengurangi beban otak dari 1.400 gram menjadi 50 gram. Hal itu penting untuk mengurangi penekanan atau geseran dasar otak dengan permukaan dasar ruang tengkorak yang tidak rata. Berikutnya, cairan otak berfungsi seperti air kencing, yakni membuang produk sisa, termasuk obat-obatan yang berbahaya. Terakhir, cairan otak pula menjadi media transportasi hormon-hormon dan nutrisi yang diperlukan oleh sel-sel otak. 2. Definisi Hidrosefalus Hidrosefalus adalah jenis penyakit yang terjadi akibat gangguan aliran cairan di dalam otak (cairan serebro spinal). Gangguan itu menyebabkan cairan tersebut bertambah banyak yang selanjutnya akan menekan jaringan otak di sekitarnya, khususnya pusat-pusat saraf yang vital.(Buku keperawatan anak) Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel. Pelebaran ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan serebrospinal.(www.google.com) Keadaan patologis otak yg mengakibatkan bertambahnya LCS dg atau tanpa PTIK shg tdpt pelebaran ruangan tempat mengalirkan LCS (Staff Pengajar FKUI, 2002) 3. Patofisiologi a. Gangguan absorpsi CSS HIDROCEFALUS Obstruksi aliran CSS Produksi CSS berlebihan Dilatasi ruang CSS TIK meningkat Gangguan perfusi jaringan cerebral Perlekatan meningen Obstruksi ruang subarachnoid Risiko infeksi Darah Kepala membesar b. Cairan serebrospinal (CSS) dibentuk didalam plexus khoroiideus yang berbentuk jumbai jaringan vaskuler dalam ventrikel. Pembentukan CSS terjadi secara konstan dan dalam keadaan normal berserkulasi bebas sepanjang lintasan dari ventrikel keempat sejumlah kecil megalir kedalam ruang subarachnoid direabsorpsi oelh vili arachnoid yang menonjol dari arachnoid meter kedalam sinus venosus pada berbagai titik berkumpul membentuk pool dimana yg terbesar adlah sisterna magna, terletak dibelakang medula dan diatas foramen magnum. Apabila terjadi gangguan absorpsi maupun obstruksi pada aliran maka cairan berlebihan didalam vetrikel dan dapat mendesak bagian lain. CSS (diproduksi oleh pleksus khoroid) Infeksi, neoplalsma, kelainan neoplasma, perdarahan Ventrikel S Obstruksi aliran CSS melalui Sistem ventrikel ubarachnoid Gangguan absrpsi CSS diruang subarachnoid Vili Arachnoid (Comunicting Hydosefalus) (Non Comiunicating Hidrosefalus) Akumulasi CS diventrikel V Resiko peningkatan TIK entrikel dilatasi dan menekan organ yg terdapat didalm otak Resiko Gangguan Integritas Kulit kepala Kepala membear 4. Etiologi Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran CSS pada salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem ventrikel dan tempat absorpsi dalam ruang subaraknoid. Akibat penyumbatan terjadi dilatasi ruangan CSS di atasnya Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi antara lain : a) Kelainan bawaan b) Infeksi c) Neoplasme d) Perdarahan 5. Menifestasi klinis Tanda klinis hidrosefalus adalah bervareasi tergantung pada banyak factor termasuk mulainya, sifat lesi yang memulainya obstruksi,dan lama serta kecepatan munculnya tekanan intera karnium. Pada bayi biasanya disertai pembesaran tengkorak sendiri, yaitu bila tekanan yang meninggi ini terjadi sebelum sutura tengkorak menutup. Gejala tekanan intrakranial yang meninggi dapat berupa muntah, nyeri kepala dan pada anak yang agak besar mungkin terdapat edema papil saraf. Kepala terlihat lebih besar dibandingkan dengan tubuh. Pembesaran kepala merupakan salah satu petunjuk klinis yang penting untuk mendeteksi hidrosefalus. Menurut peneliti Milrohat TH (1982), Paine RS (1967), dan Brett EM (1983), upaya pengukuran lingkar kepala secara serial dan teratur sangat penting dalam deteksi dini penyakit ini. Manifestasi klinis lain antara lain ialah , pembuluh darah di kulit kepala makin jelas, gangguan sensorik-motorik, gangguan penglihatan (buta), gerakkan bola mata terganggu (juling), terjadi penurunan aktivitas mental yang progresif, kejang, muntah-muntah, panas badan yang sulit dikendalikan, dan akhirnya gangguan pada fungsi vital akibat peninggian tekanan dalam ruang tengkorak yang berupa pernapasan lambat, denyut nadi turun dan naiknya tekanan darah sistolik. 6. Komplikasi 1. Komplikasi yang paling utama adalah inpeksi 2. Pada anak-anak ketidak mampuan perkembangan 3. Kelainan dalam fungsi memori 4. Lapang penglihatan dan atropi optic dengan pengurangan ketajaman akibat kenaikan tekanan intera karnial. 7. Pemeriksaan Diagnostik a. ( CT-Scan) mempertegas adanya dilatasi ventrikel dan membantui dalam memgidentifikasi kemungkinan penyebabnya( Neoplasma, kista,malformasi konginetal atau perdarahan intra kranial ) b. EEG : untuk mengetahui kelainan genetik atau metabolic c. Transluminasi : Untuk mengetahui apakah adanya kelainan dalam kepala d. MRI : ( Magnetik resonance imaging ) : memberi informasi mengenai stuktur otak tanpa kena radiasi 8. Penatalaksanaan medis a. Pasang pirau untuk mengeluarkan kelebihan CSS dari ventriel lateral ke bagiana ekstrakranial dimana kelebihan tersebut dapat direabsopsi b. Kerongga peritoneum pada bayi dan anak-anak (VP shunt) c. Katrium pada renaja (AP Shunt) BAB IV Asuhan Keperawatan A. Pengkajian Keperawatan Anamnese I. Riwayat penyakit / keluhan utama Muntah, gelisah nyeri kepala, lethargi, lelah apatis, penglihatan ganda, perubahan pupil, kontriksi penglihatan perifer. II. Riwayat Perkembangan Kelahiran : prematur. Lahir dengan pertolongan, pada waktu lahir menangis keras atau tidak. Kekejangan : Mulut dan perubahan tingkah laku. Apakah pernah terjatuh dengan kepala terbentur. Keluhan sakit perut. III. Pemeriksaan Fisik  Inspeksi : Anak dapat melioha keatas atau tidak. Pembesaran kepala. Dahi menonjol dan mengkilat. Sertas pembuluh dara terlihat jelas.  Palpasi Ukur lingkar kepala : Kepala semakin membesar. Fontanela : Keterlamabatan penutupan fontanela anterior sehingga fontanela tegang, keras dan sedikit tinggi dari permukaan tengkorak.  Pemeriksaan Mata Akomodasi. Gerakan bola mata. Luas lapang pandang Konvergensi. Didapatkan hasil : alis mata dan bulu mata keatas, tidak bisa melihat keatas. Stabismus, nystaqmus, atropi optic.  Observasi Tanda –tanda vital Didapatkan data – data sebagai berikut : Peningkatan sistole tekanan darah. Penurunan nadi / Bradicardia. Peningkatan frekwensi pernapasan. B. DIAGNOSA KEPERAWATAN a. Pre Operatif 1) . Gangguan rasa nyaman: Nyeri sehubungan dengan meningkatkanya tekanan Intrakranial . Data Indikasi : Adanya keluahan Nyeri Kepala, Meringis atau menangis, gelisah, kepala membesar Tujuan ; Klien akan mendapatkan kenyamanan, nyeri kepala berkurang Intervensi : Jelaskan Penyebab nyeri. Atur posisi Klien Ajarkan tekhnik relaksasi Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian Analgesik Persapiapan operasi. 2) Kecemasan Orang tua sehubungan dengan keadaan anak yang akan mengalami operasi. Data Indikasi : Ekspresi verbal menunjukkan kecemasan akan keadaan anaknya. Tujuan : Kecemasan orang tua berkurang atau dapat diatasi. Intervensi : Dorong orang tua untuk berpartisipasi sebanyak mungkin dalam merawat anaknya. Jelaskan pada orang tua tentang masalah anak terutama ketakutannya menghadapi operasi otak dan ketakutan terhadap kerusakan otak. Berikan informasi yang cukup tentang prosedur operasi dan berikan jawaban dengan benar dan sejujurnya serta hindari kesalahpahaman. 3). Potensial Kekurangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan intake yang kurang diserta muntah. Data Indikasi ; keluhan Muntah, Jarang minum. Tujuan : Tidak terjadi kekurangan cairan dan elektrolit. Intervensi : Kaji tanda – tanda kekurangan cairan Monitor Intake dan out put Berikan therapi cairan secara intavena. Atur jadwal pemberian cairan dan tetesan infus. Monitor tanda – tanda vital. b. Post – Operatif. 1) Gangguan rasa nyaman : Nyeri sehubungan dengan tekanan pada kulit yang dilakukan shunt. Data Indikasi ; adanya keluhan nyeri, Ekspresi non verbal adanya nyeri. Tujuan : Rasa Nyaman Klien akan terpenuhi, Nyeri berkurang Intervensi : Beri kapas secukupnya dibawa telinga yang dibalut. Aspirasi shunt (Posisi semi fowler), bila harus memompa shunt, maka pemompaan dilakukan perlahan – lahan dengan interval yang telah ditentukan. Kolaborasi dengan tim medis bila ada kesulitan dalam pemompaan shunt. Berikan posisi yang nyama. Hindari posisi p[ada tempat dilakukan shunt. Observasi tingkat kesadaran dengan memperhatikan perubahan muka (Pucat, dingin, berkeringat) Kaji orisinil nyeri : Lokasi dan radiasinya 2) Resiko tinggi terjadinya gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan intake yang tidak adekuat. Data Indikasi ; Adanya keluhan kesulitan dalam mengkonsumsi makanan. Tujuan : Tidak terjadi gangguan nutrisil. Intervensi : Berikan makanan lunak tinggi kalori tinggi protein. Berikan klien makan dengan posisi semi fowler dan berikan waktu yang cukup untuk menelan. Ciptakan suasana lingkungan yang nyaman dan terhindar dari bau – bauan yang tidak enak. Monitor therapi secara intravena. Timbang berta badan bila mungkin. Jagalah kebersihan mulut ( Oral hygiene) Berikan makanan ringan diantara waktu makan. 3) Resiko tinggi terjadinya infeksi sehubungan dengan infiltrasi bakteri melalui shunt. Tujuan : Tidak terjadi infeksi / Klien bebas dari infeksi. Intervensi : Monitor terhadap tanda – tanda infeksi. Pertahankan tekhnik kesterilan dalam prosedur perawatan Cegah terhadap terjadi gangguan suhu tubuh. Pertahanakan prinsiup aseptik pada drainase dan ekspirasi shunt. 4) Resiko tinggi terjadi kerusakan integritas kulit dan kontraktur sehubungan dengan imobilisasi. Tujuan ; Pasien bebas dari kerusakan integritas kulit dan kontraktur. Intervensi : Mobilisasi klien (Miki dan Mika) setiap 2 jam. Obsevasi terhadap tanda – tanda kerusakan integritas kulit dan kontrkatur. Jagalah kebersihan dan kerapihan tempat tidur. Berikan latihan secara pasif dan perlahan – lahan.

apendisitis

Laporan pendahuluan APPENDIKSITIS A. Definisi Appendiksitis adalah inflamasi appendik vermiformin yang disebabkan oleh obstruksi akibat infeksi, struktur, masa fecal benda asing atau tumor. ( Sandra M. Nettino, 2002 ) Appendiksitis adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya Kira-kira 10 cm ( 4 inci ) melekat pada sekum tepat dibawah katup ileosekal. ( Brunner and Suddart, 2002 ) Appendiksitis adalah Madang lumbai cacing usus buntu. ( Dr. Mel ahmad ramal, 2003 ) Dari ketiga pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa appendiksitis adalah obstruksi lumen oleh vekalit benda-benda asing parasit atau infeksi usus sehingga mengakibatkan pembengkakan limphosit. B. Patofisiologi 1. etiologi appendiksterinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlibat atau tersumbat, kemungkinan oleh fekalit ( massa keras dari feses ), tumor, atau benda asing. 2. manifestasi klinis nyeri cuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan local pada titik MC.Burney. bila dilakukan tekanan nyeri, tekan lepas ( hasil atau indentifikasi dari nyeri bila tekanan dilepaskan ) mungkin dijumpai derajat nyeri tekan, spasma otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi. Bila appendik melingkar didaerah sekum. Nyeri tekan dapat terasa didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. Nyeri saat berkemih menunjukkan bahwa ujung appendik berada dekat dengan Bandung kemih atau ureter. 3. proses penyakit Hiperplasia folikel limposid, fekalit, feses dan benda asing masuk kedalam appendiks sehingga menyebabkan obstruksi mucus mucosa mengalami bendungan atau sumbatan sehingga terjadi konstipasi, dan tekanan intra lumen meningkat sehingga aliran limfe mengalami hambatan, mengalami pembengkakan, diapedisis bakteri dan ulserasi akibat hambatan limfe ini sehingga menimbulkan appendiksitis. 4. komplikasi komplikasi utama appendik adalah perporasi appendik yang dapat berkembang menjadi peritonitis/abses, insidens perporasi adalah 10 % sampai 32 % inciden lebih sering pada anak kecil dan lansia perporasi secara umum terjadi 24 jam estela awitan nyeri, gejala mencakup demam dengan suhu 37,7  C atau dengan suhu tinggi dan nyeri tekan abdomen yang kontinue. C. Penatalaksanaan 1) Medis Pembedahan di indikasikan bila diagnosa appendiksitis telah ditegakkan. 2) Terapi • Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan. • Analgesik dapat diberikan estela diagnosa diberikan • Apabila appendik pecah estela tindakan bedah maka diperlukan pemberian antibiotik untuk mengurangi resiko peritonitis dan sepsis. 3) Tes diagnostik • SPP : leukosit di atas 12.000/mm3, neutrofil meningkat sampai 75 %. • Urinalisis : normal terdapat eritrosis, leukosit kemungkinan ada. • Foto abdomen : dapat menyatakan adanya pengeluaran material pada appendiks. ASUHAN KEPERAWATAN APPENDIKSITIS D. Pengkajian 1) Data dasar  Aktivitas/istirahat Gejala : malase  Sirkulasi Tanda : takikardi  Eliminasi Gejala : konstipasi pada awitan awal, diare ( Madang-kadang ) Tanda : distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan. Penurunan atau tak ada bising usus.  Makanan/cairan Gejala : anorexia, mual/muntah  Nyeri/kenyamanan Gejala : nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang meningkat berat, terlokalisasi pada titik Mc.Burney ( setengah jarak antara umbilikus dan tulang ilium kanan )meningkat. Benjolan, bersin, batuk/napas dalam ( nyeri berhenti tiba-tiba, diduga perporasi atau infark pada appendik ). Tanda : prilaku berhati-hati berbaring kesamping atau terlentang dengan lutut ditekuk, meningkatnya nyeri pada cuadran bawah karena posisi ekstensi kaki kanan atau posisi duduk tegak. Nyeri lepas pada sisi kiri diduga inflamasi peritoneal.  Keamanan Tanda : demam ( biasanya rendah/Turun )  Pernapasan Tanda : takipneu, pernapasan dangkal. E. Diagnosa keperawatan 1) Resiko tinggi infeksi b/d insisi bedah 2) Resiko tinggi kekurangan cairan b/d pembatasan pascaoperasi ( muntah ) 3) Nyeri b/d adanya insisi bedah 4) Kurang pengetahuan b/d tidak mengenal sumber informasi F. Perencanaan keperawatan 1) Resiko tinggi infeksi b/d insisi bedah Mandiri  Awasi tanda-tanda vital  Lakukan pencucian tangan yang baik  Lihat insisi dan balutan  Berikan informasi yang tepat, Jujuy pada pasien/keluarga Kolaborasi  Ambil contoh draine bila diindikasikan  Berikan antibiotik sesuai indikasi  Bantu irrigáis dan drainase bila diindikasikan 2) Resiko tinggi kekurangan cairan b/d pembatasan pascaoperasi ( muntah ) Mandiri  Awasi TD dan nadi  Lihat membran mucosa, kaki turgor kulit dan pengisian kapiler  Awasi masukan dan haluaran  Auskultasi bising usus  Berikan sejumlah cairan sedikit  Berikan perawatan mulut sering Kolaborasi  Pertahankan penghisapan usus  Berikan carian IV dan elektrolit 3) Nyeri b/d adanya insisi bedah Mandiri  Kaki nyeri  Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler  Dorong ambulasi dini  Berikan aktivitas hiburan Kolaborasi  Pertahankan puasa  Berikan analgesikl sesuai indikasi  Berikan kantong es pada abdomen 4) Kurang pengetahuan b/d tidak mengenal sumber informasi Mandiri  Kaki ulang pembatasan aktivitas pascaoperasi  Dorong aktivitas sesuai toleransi  Diskusikan perawatan insisi, termasuk mengganti balutan  Identifikasi gejala yang memerlukan evaluasi medik  Anjurkan penggunaan laksafif G. Implementasi keperawatan a) Pengertian Implementasi adalah langkah keempat dalam tahapan proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan/tindakan keperawatan yang telah direncanakan ( A.Aziz Alimul Hidayat, 2004 ) b) Tahap pelaksanaan  Uraian persiapan meliputi : 1. Review tindakan keperawatan yang diidentifikasi pada tahap perencanaan. Dalam melaksanakan tindakan keperawatan, criteria yang harus dipenuhi yaitu sesuai dengan rencana tindakan, berdasarkan prinsip ilmiah, ditujukan pada individu sesuai dengan kondisi klien, digunakan untuk menciptakan lingkungan yang teraupetik dan aman, penggunaan sarana dan prasarana yang memadai. 2. Menganalisa pengetahuan atau keterampilan yang diperlukan. Perawat harus mengidentifikasi tingkat pengetahuan dan tipe yang diperlukan untuk tindakan keperawatan. Hal ini akan menentukan siapa orang yang terdekat untuk melakukan tindakan. 3. Mengetahui komplikasi atau akibat dari tindakan keperawatan yang dilakukan. Prosedur tindakan keperawatan mungkin berakibat terjadinya resiko tinggi kepada klien. Perawat harus menyadari kemungkinan timbulnya komplikasi sehubungan dengan tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan. Keadaan yang demikian ini memungkinkan perawat untuk melakukan pencegahan dan mengurangi resiko yang timbul. 4. Menentukan dan mempersiapkan peralatan yang diperlukan dalam implementasi. Dalam mempersiapkan tindakan keperawatan, hal-hal yang berhubungan dengan tujuan harus dipertimbangkan yaitu waktu, tenaga dan alat. 5. Mempersiapkan lingkungan yang kondusif sesuai dengan tindakan yang dilakukan. Keberhasilan suatu tindakan keperawatan sangan ditentukan oleh perasaan klien yang aman dan nyaman. Lingkungan yang nyaman mencakup componen fisik dan psikologis.  Tindakan keperawatan dibedakan atas : 1. Independen atau mandiri Yaitu statu kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dan perintah dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya. 2. Interdependen atau kolaborasi Yaitu statu kegiatan yang memerlukan statu kerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya, misalnya ahli Gizo, fisioterapi, dokter dan sebagainya. c) Pendokumentasian Pada tahap pendokumentasian hal yang harus dicatat hádala tindakan yang telah dilakukan, waktu, tanggal, jam dan paraf perawat yang melakukan. H. Evaluasi a) Pengertian Evaluasi ialah langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari pada keperawatan tercapai atau tidak. b. Proses evaluasi 1. Evaluasi formatif Menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi. 2. Evaluasi sumatif Merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status pasien pada waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap perencanaan. c. Pendokumentasian Merupakan pencatatan dari proses keperawatan estela implementasi atau tindakan keperawatan, disini dapat diketahui apakah tujuan dari keperawatan tercapai atau tidak. Evaluasi dan catat dalam bentuk SOAP dimana : S : merupakan respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan dan berupa kalimat pernyataan klien dan keluarga. O : respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan berdasarkan pengamatan/observasi klien A : merupakan hasil analisa ulang dari DS dan DO dimana masih/tetap muncul masalah baru P : merupakan planning/perencanaan atau tindakan berdasarkan hasil analisa.
DAFTAR PUSTAKA Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 3.Jakarta : EGC. Cardenito, L.J. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC. Engram, Barbara, 2000. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC. Nurachman, Elly, 2001. Buku Saku Prosedur Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC. Tambayong, Jan, 2002. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC
saya feri juliansyah saya angkatan 2010/2011 akper harum jakarta sedikit ulasan saya mengenai akper harum dimana dulu ditempat saya berkuliah, dari foto disamping itu saya sedang PKL di salah satu rumah sakit KOJA jakarta utara,,,,dan sedang menjalani praktek diruang ICU RS. KOJA. setelah saya lulus dari akademi keperawatan harum jakarta banyak sekali mampaat yang saya peroleh dari masa perkuliahan,,,diantaranya mendapatkan sertifikat - sertifikat yang bermutu baik,,,diantaranya BTCLS AGD 118, hemodialisa, gerontik di panti werda ciracar, OK dan ICU,ICCU sertifikat kompetensi dan masih bnyak lagi sertifikat yang lain termasuk bahasa inggris dan mandarin...! bagi anda yang berminat untuk masuk kuliah/ mendaftarkan diri sebagai mahasiswa akper harum,,,silahkan kirim komentar dan biodata anda di bawah blog/disamping blog ini dan kirimkan juga alamat email anda ke blog saya....! yang tidak kalah pentingnya dari seluruh alumni akper harum sekarang sudah bekerja dirumah sakit - rumah sakit diseluruh indonesia,di wilayah profinsi maupun plosok daerah sekalipun...intinya kalau masalah ingin mendapatkan pekerjaan sewaktu selesai perkuliahan sangat mudah dan cepat diterima kesrumah sakit rumah sakit pada umumnya....sekilas ullasan saya...mengenai lembaga pendidikan kesehatan akper harum jakarta....sukses selalu buat akper harum....!!! tetap keren dibanding akper yang lain....